Suara
klakson itu dengan tidak sopan mengagetkanku yang sedang berkonsentrasi
menunggu lampu hijau menyala, sejenak aku menoleh ke arah traffic light
yg kebetulan berada tepat di hadapanku dan ternyata masih menyorot
berwarna merah. Jiwa mudaku menuntunku untuk menoleh ke arah mobil di
belakangku sambil melotot tajam ke arah pengemudinya yang ternyata
seorang pria muda bertubuh kerempeng, lucu juga melihat ekspresi
wajahnya yang ketakutan akibat pelototan mataku. Semoga ini menjadi
pelajaran berarti dalam hidup anak muda tersebut bahwa orang miskin
seperti aku juga punya harga diri.
tin......tin................................................
ton.....ton.........................................
ten......ten...................................................
tik...... tok....... tik...... tok..........................
“ woooooooooooy, jangan melamun di jalan !!!” suara teriakan orang di
belakangku yang ternyata berasal dari seorang pria berbadan tinggi besar
dengan rombong bertuliskan BAKSO IDOLA. Kali ini aku yang merasa
ketakutan dengan wajah sangarnya, ingin rasanya aku langsung tancap gas
motor butut peninggalan kakek tapi ternyata traffic light masih
berwarna merah. Akhirnya aku enjoy aja, mungkin tukang bakso tersebut
terburu-buru dikejar setoran majikannya, tapi aku nggak mau berkorban
untuknya karena tepat di hadapanku ada seorang polisi yang sedang
bertugas. Iya benar.......... tepat di hadapan motorku ada seorang
polisi,
“ HAH!!..... Ngapain juga polisi ini berdiri di hadapan motorku, apa
dia habis tertangkap basah korupsi sehingga mau bunuh diri?” hatiku
bertanya-tanya.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengetahui jawaban pertanyaan hatiku
tersebut karena sepersekian detik kemudian polisi tersebut berkata
padaku dengan penuh kelembutan layaknya customer service operator
seluler
“ Bapak sedang sakit ya? Lampu hijau sudah menyala dari tadi tapi Bapak tidak jalan-jalan juga sehingga jalanan menjadi macet ”
aku melihat ke arah traffic light lagi dan ternyata masih berwarna ...... hm.... merah apa hijau ya? apa ya bedanya merah sama hijau? koq mirip daun ya warnanya?
dengan gerak refleks aku menoleh ke belakang, dan..
“ ASTAGHFIRULLAH...... panjang amat tuh rombongan kendaraan, rombongan
mau kemana ya? he he he” suara klakson di belakangku semakin
bertalu-talu bahkan kali ini berkolaborasi dengan suara kentongan
pedagang mie ayam dan suara umpatan ibu-ibu yang takut datang terlambat
ke kantornya. Dengan senyuman malu kepada polisi yang baik tersebut
akupun menarik gas motorku dan melaju dengan kecepatan penuh berharap
tidak terkejar oleh pengendara-pengendara yang sedang kalap di
belakangku, tapi dasar motor butut, meskipun tarikan gasnya sudah penuh
tetapi larinya sungguhlah sangat lambat mungkin sekitar empat puluh
kilometer per jam dan walhasil umpatan demi umpatan melayang ke arahku
tanpa bisa kuelakkan ketika mereka satu persatu mendahuluiku. Akupun
hanya bisa tersenyum malu, gara-gara aku melamun makanya apes.
Lima menit berselang akhirnya aku bisa terlepas dari olok-olokan
orang-orang yang tidak kukenal tadi dan akupun bisa kembali berkendara
dengan tenang meskipun tidak lama kemudian pikiranku kembali
melayang-layang kepada kejadian semalam di rumah kekasihku, Aisyah.
Lebih tepatnya teringat omongan Haji Ghofur, bapaknya Aisyah...
“pokoknya, kalian harus menikah bulan Syawal ini titik!”
Kalimat
itulah yang terus membuat pikiranku gundah gurita, hampir saja aku
berangkat ke kantor mengenakan sepatu berlainan warna kalau ibuku tidak
berteriak...
“ya elah Jakaaaaaaaaaaa...... kesurupan setan mana kamu nak, sampai nggak bisa membedakan sepatu warna hitam dan warna putih?”
*
Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttttttttttttttttttttt........
Suara kanvas motorku yang sedang diinjak remnya dengan tanpa
berbelaskanvasan akibat melintasnya sesosok nenek-nenek dengan rambut
panjang bertongkat dan tatapan mata yang penuh amarah
“dasar sontoloyo..... naik motor nggak aturan, nggak liat tha ada orang
sedang menyebrang!” bentak nenek tua tersebut dengan emosi
“ampun nek!, maaaaaaaaaaaaaaf banget.... saya nggak keliatan” ucapku
ketakutan tetapi bukan ketakutan dipukul dengan tongkatnya melainkan
takut dengan tulah nenek tersebut karena menurut Wak Amin kakaknya
ibuku, kesalahan kita terhadap orang lain bisa mendatangkan balasan yang
setimpal dari Tuhan terlebih kesalahan terhadap nenek tua yang sudah
tidak berdaya ini.
“ini tidak bisa dibiarkan, aku harus ngapain ya supaya pikiranku tidak
melayang-layang lagi?” tanyaku pada diri sendiri yang tidak mungkin
didengar oleh tukang sayur yang sedang berjualan di tempat aku hampir
menabrak nenek tua tadi.
ting....Ting....
tong..........Tong.......
itu
bukan suara Ayu Ting Ting, artis dangdut yang ngetop mendadak atau
suara ketawanya Malih Tong Tong, pelawak favorit bapakku melainkan suara
lampu OhSeram yang tiba-tiba muncul di atas kepalaku (efek kebanyakan baca komik).
“membaca surat Al-Ikhlas.......” gumamku
hanya
cara itulah yang terbersit di benakku untuk menghilangkan kegalauan
hatiku. Pilihanku terhadap surat Al-Ikhlas tersebut didasarkan atas
sebuah pertimbangan istimewa, yaitu aku nggak hafal surat-surat yang
lainnya he he he....
“bismillaahirrohmaanirrohiiimm.....qulhuallaahu ahad......”
lantunan
surat al-ikhlas terucap dari mulutku dengan penuh harap semoga aku bisa
berkendara dengan lebih berkonsentrasi tanpa terganggu ingatanku
terhadap perkataan bapaknya Aisyah.
Akhirnya setelah melalui perjalanan yang cukup menegangkan akupun
sampai di kantor tempatku bekerja dengan tanpa lecet sedikitpun.
Untunglah
aku tidak datang terlambat ke kantor sehingga tidak mendapatkan
dampratan dari Pak Ridwan, atasanku yang terkenal galak seantero
tempatku bekerja.
“Aisyah....Aisyah..... kenapa sich bapakmu memaksa kita harus menikah
bulan Syawal ini, bulan yang sudah tinggal sebulan lagi?” bunyi sms yang
aku kirimkan kepada kekasihku, Aisyah.
beberapa saat kemudian ponselku bergetar pertanda ada SMS masuk
“apa abang keberatan dengan hal itu?” isi sms dari Aisyah
bingung
aku mau membalas SMS tersebut, aku takut salah menuliskan kata-kata dan
itu akan membuat gadis pujaanku tersebut bersedih hatinya. Setelah
berpikir selama beberapa menit akhirnya kuberanikan diri untuk membalas
SMS dari Aisyah
“sebenarnya abang sangat senang sekali akhirnya perjuangan kita
meluluhkan hati Bapak membuahkan hasil, tapi apa ini tidak terlalu
cepat?”
penuh
harap-harap cemas aku menunggu SMS balasan dari Aisyah dan beberapa
menit kemudian ponselku bergetar kembali. Cukup lama aku menunggunya,
mungkin di sana Aisyah juga bingung mau menulis SMS apa kepadaku.
“Aisyah sebenarnya juga merasa ini terlalu cepat, skripsi Aisyah saja
baru nyampek bab III, tapi kalau kita tidak menuruti kemauan abah,
Aisyah takut abah berubah pikiran”
Deng.....dong.......
Badanku tiba-tiba saja kehilangan tenaga mendengar kata-kata Aisyah
yang bobotnya seperti gunung Galunggung tersebut. Betapa tidak, kalimat
Aisyah tersebut seolah-olah menyadarkanku bahwa pernikahan kita di bulan
Syawal ini sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi karena aku sudah merasa
tidak sanggup untuk mengawali dari awal lagi hubungan yang sudah kita
rajut selama setahun ini apabila kita tidak menuruti kemauan bapaknya
Aisyah. Kenangan-kenangan masa pacaranku dengan Aisyah selama setahun
tiba-tiba membayang di kepalaku, saat aku dicaci maki oleh bapaknya
Aisyah, saat aku diusir oleh bapaknya Aisyah, dan saat aku hampir
ditampar oleh bapaknya Aisyah meskipun itu tidak sampai terjadi karena
Aisyah mendadak melindungi aku dari tamparan bapaknya. Memang di
awal-awal hubunganku dengan Aisyah, kami mendapatkan halangan dari Haji
Ghofur yang menginginkan Aisyah menikah dengan pemuda lulusan pesantren.
Tetapi pada akhirnya beliau menyerah juga dengan perjuangan kami, usut
punya usut ternyata perubahan sikapnya itu terjadi setelah beliau
mengetahui bahwa selain bekerja sebagai kurir di kantor aku juga
mempunyai kesibukan mengajar mengaji di TPA (kalau nggak salah singkatannya Tempat Pendidikan Al-qur’an tapi kalau salah jangan gebukin aku ya?) dekat rumahku.
Pikiranku masih berkecamuk, kegalauan akan waktu pernikahan yang harus aku jalani sebulan lagi belum juga beranjak dari otakku.
“Aisyah.... kalau masalah kesiapan bathinku untuk menikahimu, detik ini
juga aku sudah siap seratus persen, tapi ini masalahnya adalah janjiku
padamu dulu, Sayang. Abang pernah berjanji padamu bahwa suatu saat kalu
kita menikah abang ingin memberikan mas kawin berupa emas sebesar 11
gram sesuai dengan jumlah rukun iman dan rukun islam, darimana abang
bisa membelinya sekarang, Sayang. Belum lagi biaya walimatul urusynya,
Gaji abang cuma lima ratus ribu sebulan. Siapa yang mau percaya
meminjamkan uangnya kepada pegawai rendahan seperti abang ini?” protesku
pada diriku sendiri sambil menggigit tempe penyet yang dibawakan ibu
sebagai bekal makan siangku.
Ketika adzan duhur berkumandang ponsel bututku kembali bergetar dan
ternyata Aisyah yang mengirim SMS kepadaku, isi SMS nya membuat detak
jantungku berhenti sejenak
“Bang, waktunya sholat dhuhur... Aisyah memasrahkan segala keputusan
tentang hubungan kita kepada Abang sepenuhnya, abah mengundang Abang
untuk buka bersama di rumah besok malam sekaligus ingin menanyakan
keputusan Abang”
*
Seumur hidupku, ini adalah sholat dhuhur terkhusyu’ yang pernah aku
lakukan. Mungkin benar ucapan para da’i yang mengatakan bahwa manusia
itu cenderung mendekati Allah ketika sedang dalam kesusahan tetapi
setelah kesusahan itu berlalu maka berlalu pulalah kedekatannya kepada
sang pencipta.
Selesai dari sholat dhuhur entah mengapa hatiku merasa lebih tenang.
Keyakinanku untuk menikahi Aisyah bulan depan sudah bulat, bukankah
Rosulullah SAW juga menikahkan putrinya, Fatimah dengan Ali Bin Abi
Thalib pada bulan Syawal? . Rasa cinta dan sayangku kepada Aisyah
sangatlah besar, aku tidak ingin membuat hatinya terluka. Rasanya tidak
pantas apabila pernikahan yang sangat dicintai Allah dan Rosulnya ini
dibatalkan hanya karena kemiskinanku. Biarlah aku jual saja motor
bututku dan beberapa pakaianku yang masih layak untuk membelikan Aisyah
emas sebelas gram sesuai dengan janjiku dulu kepadanya toh aku masih
bisa naik angkot untuk pergi ke kantor dan pakaian tiga pasang saja
sudah cukup khan untuk aktifitasku sehari-hari yang penting sarung
peninggalan ayah tidak ikut aku jual. Mengenai walimatul urusy, aku
pikir yang penting aku mengundang semua tetanggaku ke rumah untuk
makan-makan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmatNya meskipun menunya
cuma sayur lodeh plus tempe. Aku yakin tetanggaku sudah mengerti dengan
keadaan perekonomian keluargaku.
Ketika dalam perjalanan dari musholla menuju ke ruangan tempatku bekerja mendadak ada suara perempuan memanggilku dari belakang
“Jakaaaaaaaaaaaa.......” suara teriakan itu
akupun
menoleh ke arah perempuan tambun yang biasa aku panggil Enyak tersebut,
nama aslinya Rodiah tapi orang-orang kantor semuanya memanggilnya Enyak
karena dia berasal dari Jakarta dan cara berbicaranya sehari-hari di
kantor mirip sekali dengan enyak-enyak yang ada di sinetron yang
mengisahkan adat Betawi.
Melihat caranya memanggilku dan cara jalannya yang terburu-buru
sepertinya ada hal penting yang ingin beliau sampaikan kepadaku. Aduh!
Jangan-jangan beliau mau menagih utangku yang tiga puluh ribu kemarin
yang kugunakan untuk membeli obat ibuku waktu ibu terkena diare akut.
“Jakaaaaaaaaa.....Jakaaaaaa.... kemane aje sich mulai tadi aye cari
kagak ketemu-ketemu? udeh tau belum kalo hari ini elu dapet arisan? nich
uangnye tujuh jute”
Aku berdiri kaku
“mau duit kagek elu, Jak?”
Aku masih diam terpaku tanpa bisa berkata-kata
“nich anak kesurupan setan mane ye? Pokoknye ini duitnye dan ini
kuitansinye ayo tanda tangani cepetan keburu masuk kantor.... ealah....
masih bengong aje... ya udeh cap jempol aje!.... beres dah, aye ke
kantor dulu ” cerocos Enyak tanpa mengambil nafas sedikitpun dan Enyak
pun pergi dengan meninggalkan segepok uang di tanganku, segepok uang
yang mungkin bagi Enyak dan orang-orang di kantorku jumlahnya tidak
seberapa tetapi sungguh sangatlah besar jumlahnya bagiku.
*
Tak henti-hentinya mataku menatap perempuan cantik di hadapanku, Aisyah
sungguh terlihat cantik malam ini dengan busana muslim yang aku belikan
di Pasar Sabtu kemarin lusa, senyuman manis tak henti-hentinya
tersungging di bibirnya yang mungil. Tangannya yang panjang terlihat
semakin indah dihiasi gelang dan cincin emas di jarinya sebagai mahar
pernikahan kami tadi siang. Sungguh aku adalah laki-laki paling
beruntung di dunia karena memiliki istri yang cantik dan mau menerima
aku apa adanya. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan
menyayanginya seumur hidupku dan akan membawanya mengarungi bahtera
rumah tangga yang penuh kebahagiaan dan dirahmati oleh Allah subhanahu
wa ta’ala.
-Sekian-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar