Sabtu, 24 Agustus 2013

ceritaaa

Tin...tin................. tin................. tin...................
Suara klakson itu dengan tidak sopan mengagetkanku yang sedang berkonsentrasi menunggu lampu hijau menyala, sejenak aku menoleh ke arah traffic light yg kebetulan berada tepat di hadapanku dan ternyata masih menyorot berwarna merah. Jiwa mudaku menuntunku untuk menoleh ke arah mobil di belakangku sambil melotot tajam ke arah pengemudinya yang ternyata seorang pria muda bertubuh kerempeng, lucu juga melihat ekspresi wajahnya yang ketakutan akibat pelototan mataku. Semoga ini menjadi pelajaran berarti dalam hidup anak muda tersebut bahwa orang miskin seperti aku juga punya harga diri.
            tin......tin................................................
            ton.....ton.........................................
            ten......ten...................................................
            tik...... tok....... tik...... tok..........................
            “ woooooooooooy, jangan melamun di jalan  !!!” suara teriakan orang di belakangku yang ternyata berasal dari seorang pria berbadan tinggi besar dengan rombong bertuliskan BAKSO IDOLA. Kali ini aku yang merasa ketakutan dengan wajah sangarnya, ingin rasanya aku langsung tancap gas motor butut peninggalan kakek tapi ternyata traffic light masih berwarna merah. Akhirnya aku enjoy aja, mungkin tukang bakso tersebut terburu-buru dikejar setoran majikannya, tapi aku nggak mau berkorban untuknya karena tepat di hadapanku ada seorang polisi yang sedang bertugas. Iya benar.......... tepat di hadapan motorku ada seorang polisi,
            “ HAH!!..... Ngapain juga polisi ini berdiri di hadapan motorku, apa dia habis tertangkap basah korupsi sehingga mau bunuh diri?” hatiku bertanya-tanya.
            Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengetahui jawaban pertanyaan hatiku tersebut karena sepersekian detik kemudian polisi tersebut berkata padaku dengan penuh kelembutan layaknya customer service operator seluler
            “ Bapak sedang sakit ya? Lampu hijau sudah menyala dari tadi tapi Bapak tidak jalan-jalan juga sehingga jalanan menjadi macet ”
aku melihat ke arah traffic light lagi dan ternyata masih berwarna ...... hm.... merah apa hijau ya? apa ya bedanya merah sama hijau? koq mirip daun ya warnanya?
dengan gerak refleks aku menoleh ke belakang, dan..
            “ ASTAGHFIRULLAH...... panjang amat tuh rombongan kendaraan, rombongan mau kemana ya? he he he” suara klakson di belakangku semakin bertalu-talu bahkan kali ini berkolaborasi dengan suara kentongan pedagang mie ayam dan suara umpatan ibu-ibu yang takut datang terlambat ke kantornya. Dengan senyuman malu kepada polisi yang baik tersebut akupun menarik gas motorku dan melaju dengan kecepatan penuh berharap tidak terkejar oleh pengendara-pengendara yang sedang kalap di belakangku, tapi dasar motor butut, meskipun tarikan gasnya sudah penuh tetapi larinya sungguhlah sangat lambat mungkin sekitar empat puluh kilometer per jam dan walhasil umpatan demi umpatan melayang ke arahku tanpa bisa kuelakkan ketika mereka satu persatu mendahuluiku. Akupun hanya bisa tersenyum malu, gara-gara aku melamun makanya apes.
            Lima menit berselang akhirnya aku bisa terlepas dari olok-olokan orang-orang yang tidak kukenal tadi dan akupun bisa kembali berkendara dengan tenang meskipun tidak lama kemudian pikiranku kembali melayang-layang kepada kejadian semalam di rumah kekasihku, Aisyah. Lebih tepatnya teringat omongan Haji Ghofur, bapaknya Aisyah...
            “pokoknya, kalian harus menikah bulan Syawal ini titik!”
Kalimat itulah yang terus membuat pikiranku gundah gurita, hampir saja aku berangkat ke kantor mengenakan sepatu berlainan warna kalau ibuku tidak berteriak...
            “ya elah Jakaaaaaaaaaaa...... kesurupan setan mana kamu nak, sampai nggak bisa membedakan sepatu warna hitam dan warna putih?”

*

            Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttttttttttttttttttttt........
            Suara kanvas motorku yang sedang diinjak remnya dengan tanpa berbelaskanvasan akibat melintasnya sesosok nenek-nenek dengan rambut panjang bertongkat dan tatapan mata yang penuh amarah
            “dasar sontoloyo..... naik motor nggak aturan, nggak liat tha ada orang sedang menyebrang!” bentak nenek tua tersebut dengan emosi
            “ampun nek!, maaaaaaaaaaaaaaf banget.... saya nggak keliatan” ucapku ketakutan tetapi bukan ketakutan dipukul dengan tongkatnya melainkan takut dengan tulah nenek tersebut karena menurut Wak Amin kakaknya ibuku, kesalahan kita terhadap orang lain bisa mendatangkan balasan yang setimpal dari Tuhan terlebih kesalahan terhadap nenek tua yang sudah tidak berdaya ini.
            “ini tidak bisa dibiarkan, aku harus ngapain ya supaya pikiranku tidak melayang-layang lagi?” tanyaku pada diri sendiri yang tidak mungkin didengar oleh tukang sayur yang sedang berjualan di tempat aku hampir menabrak nenek tua tadi.
            ting....Ting.... 
tong..........Tong.......
itu bukan suara Ayu Ting Ting, artis dangdut yang ngetop mendadak atau suara ketawanya Malih Tong Tong, pelawak favorit bapakku melainkan suara lampu OhSeram yang tiba-tiba muncul di atas kepalaku (efek kebanyakan baca komik).
“membaca surat Al-Ikhlas.......” gumamku
hanya cara itulah yang terbersit di benakku untuk menghilangkan kegalauan hatiku. Pilihanku terhadap surat Al-Ikhlas tersebut didasarkan atas sebuah pertimbangan istimewa, yaitu aku nggak hafal surat-surat yang lainnya he he he....
            “bismillaahirrohmaanirrohiiimm.....qulhuallaahu ahad......”
lantunan surat al-ikhlas terucap dari mulutku dengan penuh harap semoga aku bisa berkendara dengan lebih berkonsentrasi tanpa terganggu ingatanku terhadap perkataan bapaknya Aisyah.
            Akhirnya setelah melalui perjalanan yang cukup menegangkan akupun sampai di kantor tempatku bekerja dengan tanpa lecet sedikitpun.
Untunglah aku tidak datang terlambat ke kantor sehingga tidak mendapatkan dampratan dari Pak Ridwan, atasanku yang terkenal galak seantero tempatku bekerja.
            “Aisyah....Aisyah..... kenapa sich bapakmu memaksa kita harus menikah bulan Syawal ini, bulan yang sudah tinggal sebulan lagi?” bunyi sms yang aku kirimkan kepada kekasihku, Aisyah.
beberapa saat kemudian ponselku bergetar pertanda ada SMS masuk
            “apa abang keberatan dengan hal itu?” isi sms dari Aisyah
bingung aku mau membalas SMS tersebut, aku takut salah menuliskan kata-kata dan itu akan membuat gadis pujaanku tersebut bersedih hatinya. Setelah berpikir selama beberapa menit akhirnya kuberanikan diri untuk membalas SMS dari Aisyah
            “sebenarnya abang sangat senang sekali akhirnya perjuangan kita meluluhkan hati Bapak membuahkan hasil, tapi apa ini tidak terlalu cepat?”
penuh harap-harap cemas aku menunggu SMS balasan dari Aisyah dan beberapa menit kemudian ponselku bergetar kembali. Cukup lama aku menunggunya, mungkin di sana Aisyah juga bingung mau menulis SMS apa kepadaku.
            “Aisyah sebenarnya juga merasa ini terlalu cepat, skripsi Aisyah saja baru nyampek bab III, tapi kalau kita tidak menuruti kemauan abah, Aisyah takut abah berubah pikiran”
            Deng.....dong.......
            Badanku tiba-tiba saja kehilangan tenaga mendengar kata-kata Aisyah yang bobotnya seperti gunung Galunggung tersebut. Betapa tidak, kalimat Aisyah tersebut seolah-olah menyadarkanku bahwa pernikahan kita di bulan Syawal ini sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi karena aku sudah merasa tidak sanggup untuk mengawali dari awal lagi hubungan yang sudah kita rajut selama setahun ini apabila kita tidak menuruti kemauan bapaknya Aisyah. Kenangan-kenangan masa pacaranku dengan Aisyah selama setahun tiba-tiba membayang di kepalaku, saat aku dicaci maki oleh bapaknya Aisyah, saat aku diusir oleh bapaknya Aisyah, dan saat aku hampir ditampar oleh bapaknya Aisyah meskipun itu tidak sampai terjadi karena Aisyah mendadak melindungi aku dari tamparan bapaknya. Memang di awal-awal hubunganku dengan Aisyah, kami mendapatkan halangan dari Haji Ghofur yang menginginkan Aisyah menikah dengan pemuda lulusan pesantren. Tetapi pada akhirnya beliau menyerah juga dengan perjuangan kami, usut punya usut ternyata perubahan sikapnya itu terjadi setelah beliau mengetahui bahwa selain bekerja sebagai kurir di kantor aku juga mempunyai kesibukan mengajar mengaji di TPA (kalau nggak salah singkatannya Tempat Pendidikan Al-qur’an tapi kalau salah jangan gebukin aku ya?) dekat rumahku.
            Pikiranku masih berkecamuk, kegalauan akan waktu pernikahan yang harus aku jalani sebulan lagi belum juga beranjak dari otakku.
            “Aisyah.... kalau masalah kesiapan bathinku untuk menikahimu, detik ini juga aku sudah siap seratus persen, tapi ini masalahnya adalah janjiku padamu dulu, Sayang. Abang pernah berjanji padamu bahwa suatu saat kalu kita menikah abang ingin memberikan mas kawin berupa emas sebesar 11 gram sesuai dengan jumlah rukun iman dan rukun islam, darimana abang bisa membelinya sekarang, Sayang. Belum lagi biaya walimatul urusynya, Gaji abang cuma lima ratus ribu sebulan. Siapa yang mau percaya meminjamkan uangnya kepada pegawai rendahan seperti abang ini?” protesku pada diriku sendiri sambil menggigit tempe penyet yang dibawakan ibu sebagai bekal makan siangku.
            Ketika adzan duhur berkumandang ponsel bututku kembali bergetar dan ternyata Aisyah yang mengirim SMS kepadaku, isi SMS nya membuat detak jantungku berhenti sejenak
            “Bang, waktunya sholat dhuhur... Aisyah memasrahkan segala keputusan tentang hubungan kita kepada Abang sepenuhnya, abah mengundang Abang untuk buka bersama di rumah besok malam sekaligus ingin menanyakan keputusan Abang”
*
            Seumur hidupku, ini adalah sholat dhuhur terkhusyu’ yang pernah aku lakukan. Mungkin benar ucapan para da’i yang mengatakan bahwa manusia itu cenderung mendekati Allah ketika sedang dalam kesusahan tetapi setelah kesusahan itu berlalu maka berlalu pulalah kedekatannya kepada sang pencipta.
            Selesai dari sholat dhuhur entah mengapa hatiku merasa lebih tenang. Keyakinanku untuk menikahi Aisyah bulan depan sudah bulat, bukankah Rosulullah SAW juga menikahkan putrinya, Fatimah dengan Ali Bin Abi Thalib pada bulan Syawal? . Rasa cinta dan sayangku kepada Aisyah sangatlah besar, aku tidak ingin membuat hatinya terluka. Rasanya tidak pantas apabila pernikahan yang sangat dicintai Allah dan Rosulnya ini dibatalkan hanya karena kemiskinanku. Biarlah aku jual saja motor bututku dan beberapa pakaianku yang masih layak untuk membelikan Aisyah emas sebelas gram sesuai dengan janjiku dulu kepadanya toh aku masih bisa naik angkot untuk pergi ke kantor dan pakaian tiga pasang saja sudah cukup khan untuk aktifitasku sehari-hari yang penting sarung peninggalan ayah tidak ikut aku jual. Mengenai walimatul urusy, aku pikir yang penting aku mengundang semua tetanggaku ke rumah untuk makan-makan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmatNya meskipun menunya cuma sayur lodeh plus tempe. Aku yakin tetanggaku sudah mengerti dengan keadaan perekonomian keluargaku.
            Ketika dalam perjalanan dari musholla menuju ke ruangan tempatku bekerja mendadak ada suara perempuan memanggilku dari belakang
“Jakaaaaaaaaaaaa.......” suara teriakan itu
akupun menoleh ke arah perempuan tambun yang biasa aku panggil Enyak tersebut, nama aslinya Rodiah tapi orang-orang kantor semuanya memanggilnya Enyak karena dia berasal dari Jakarta dan cara berbicaranya sehari-hari di kantor mirip sekali dengan enyak-enyak yang ada di sinetron yang mengisahkan adat Betawi.
            Melihat caranya memanggilku dan cara jalannya yang terburu-buru sepertinya ada hal penting yang ingin beliau sampaikan kepadaku. Aduh! Jangan-jangan beliau mau menagih utangku yang tiga puluh ribu kemarin yang kugunakan untuk membeli obat ibuku waktu ibu terkena diare akut.
            “Jakaaaaaaaaa.....Jakaaaaaa.... kemane aje sich mulai tadi aye cari kagak ketemu-ketemu? udeh tau belum kalo hari ini elu dapet arisan? nich uangnye tujuh jute”
            Aku berdiri kaku
            “mau duit kagek elu, Jak?”
            Aku masih diam terpaku tanpa bisa berkata-kata
            “nich anak kesurupan setan mane ye? Pokoknye ini duitnye dan ini kuitansinye ayo tanda tangani cepetan keburu masuk kantor.... ealah.... masih bengong aje... ya udeh cap jempol aje!.... beres dah, aye ke kantor dulu ” cerocos Enyak tanpa mengambil nafas sedikitpun dan Enyak pun pergi dengan meninggalkan segepok uang di tanganku, segepok uang yang mungkin bagi Enyak dan orang-orang di kantorku jumlahnya tidak seberapa tetapi sungguh sangatlah besar jumlahnya bagiku.

*
            Tak henti-hentinya mataku menatap perempuan cantik di hadapanku, Aisyah sungguh terlihat cantik malam ini dengan busana muslim yang aku belikan di Pasar Sabtu kemarin lusa, senyuman manis tak henti-hentinya tersungging di bibirnya yang mungil. Tangannya yang panjang terlihat semakin indah dihiasi gelang dan cincin emas di jarinya sebagai mahar pernikahan kami tadi siang. Sungguh aku adalah laki-laki paling beruntung di dunia karena memiliki istri yang cantik dan mau menerima aku apa adanya. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan menyayanginya seumur hidupku dan akan membawanya mengarungi bahtera rumah tangga yang penuh kebahagiaan dan dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
-Sekian-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar