Minggu, 17 November 2013

Pengelolaan DM tipe II yang disertai TB paru BTA positif


PENDAHULUAN
Di seluruh dunia, satu dari dua orang terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberkulosis (TB). Jumlah penderita TB sekitar 2,5% dari seluruh penyakit, dan merupakan penyebab kematian tersering pada wanita muda. TB sekarang menduduki peringkat 7 pada penyebab kematian dari penyakit. Meskipun obat yang efektif untuk TB telah ada selama 50 tahun yang lalu, setiap 15 detik seseorang meninggal karena TB, dan tiap satu detik seseorang terinfeksi dengan TB. 75 % pasien TB berada pada usia produktif, antara 15-54 tahun. Sembilan puluh lima persen kasus dan 99% kematian karena TB muncul di negara-negara berkembang, terutama pada Sub-saharan Africa dan South East Asia, dan sekitar 48% pasien dengan TB tinggal di Asia; termasuk Indonesia. Di masa-masa yang akan datang perhatian perlu diberikan pada interaksi antara penyakit kronik dengan TB, diantaranya yaitu diabetes.Tuberkulosis (TB) dan diabetes melitus (DM) seringkali ditemukan bersama sama (42,1%), terutama pada seseorang dengan resiko tinggi untuk menderita TB. DM telah dilaporkan dapat merubah gejala klinis dari TB serta berhubungan dengan respon yang lambat dari pengobatan TB dan tingginya mortalitas. TB dapat mengakibatkan pengaruh yang buruk terhadap kadar gula darah karena intoleransi glukosa yang menyebabkan keadaan hiperglikemia, namun akan membaik atau menjadi normal dengan pengobatan anti TB.Penyakit-penyakit penyerta tersebut 61,5% ditemukan sebagai penyakit primer (lebih dulu) dan 38,5% sebagai penyakit sekunder, yaitu TB Paru yang lebih dulu, penyakit penyertanya belakangan timbul.3

LAPORAN KASUS
Pada tanggal 11 juni 2008 datang seorang laki-laki berusia 54 tahun dengan keluhan utama batuk darah. Anamnesa riwayat penyakit sekarang didapatkan Pasien telah mengalami batuk darah 1 hari sebelum masuk rumah sakit (MRS), dengan frekuensi <3x/hari, jumlahnya sekitar 1 sendok makan, beserta dahak, berbusa dan berwarna merah kehitaman bercampur dengan dahak. Pasien juga mengalami batuk batuk berdahak dengan frekuensi sering setiap harinya sejak dua minggu sebelum MRS, berwarna hijau kekuning-kuningan, batuk berdahak diperberat dengan minuman yang manis atau makanan berminyak, dan juga pasien merasakan perubahan suara menjadi serak semenjak batuk batuk. Pasien juga mengalami rasa sesak saat bernafas sejak 2 minggu yang lalu, rasa sesak berkurang jika dahak dibatukkan. Pasien juga merasakan sering demam sejak 2 minggu yang lalu, dan lebih sering terjadi pada malam hari tapi pasien tidak melakukan pengobatan. pasien juga menyadari adanya penurunan berat badan yang semula 62 kg menjadi 45 kg pada tahun 2007, dan menjadi 38 kg pada tahun 2008, namun tidak ada penurunan dalam nafsu makan. Pasien juga sering mengalami kram pada kedua kaki pada tahun 2006 dan cepat merasa letih saat melakukan aktifitas, tidak ada rasa cepat haus, cepat lapar maupun sering kencing saat malam hari.
Anamnesa riwayat penyakit dahulu pasien didiagnosa menderita diabetes melitus pada tahun 2006 saat periksa di puskesmas, setelah obat dari puskesmas habis pasien tidak pernah kontrol untuk berobat lagi. Dalam hal makan pasien tidak pernah membatasi makanannya. Pasien juga tidak pernah menderita sakit paru-paru sebelumnya. Riwayat penyakit keluarga didapatkan riwayat kerabat terdekat dengan penyakit kencing manis, namun tidak ada kerabat maupun tetangga terdekat yang mempunyai riwayat batuk-batuk lama. Riwayat kebiasaan menghisap tembakau selama 34 tahun dengan 1 bungkus/3 hari. Namun telah berhenti selama 3 bulan terakhir. Olahraga bulutangkis 2 kali seminggu, dahulu dilakukan rutin namun sekarang tidak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 84 kali/menit, suhu 36,5 0C, pernafasan 20 kali/menit, berat badan 38 kg, tinggi badan 172 cm, status gizi termasuk BB kurang dengan Body Mass Index 12,84 kg/m2. status lokalis kepala, leher, thorax, abdomen, dan ekstrimitas dalam batas normal.
PEMBAHASAN
Hemoptoe secara definisi adalah ekspektorasi darah atau mukus yang berdarah. Hemoptoe merupakan salah satu gejala yang penting dari penyakit paru, pertama karena merupakan bahaya potensial adanya perdarahan yang gawat yang memerlukan tindakan yang segera dan intensif, dimana batuk darah yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Kedua, karena hemoptoe hampir selalu disebabkan oleh penyakit bronkopulmonal.4
Etiologi hemoptoe sangat banyak, namun dari segi insiden yaitu TB paru (25-40%), bronkiektasis (20%), dan ca bronkogenik (10-15%), sedangkan jika berdasarkan usia penderita, pada usia >40 tahun kemungkinan etiologinya adalah ca bronkogenik, TB dan bronkiektasis. 4
Kriteria hemoptoe masif menurut yeoh (1965) adalah perdarahan 200 cc dalam 24 jam, sedangkan menurut sdeo (1976) adalah perdarahan lebih dari 600 cc dalam 24 jam.4 Pasien TB paru mempunyai indikasi rawat inap jika terdapat keadaan atau komplikasi: keadaan umum buruk, batuk darah masif, pneumothorax, empiema, efusi pleura masif/bilateral, dan sesak nafas berat (bukan karena efusi pleura).8 Pasien ini hemoptoe yang terjadi bukan termasuk hemoptoe masif sehingga tidak mempunyai indikasi untuk rawat inap.
Tujuan pokok terapi hemoptoe adalah mencegah tersumbatnya saluran pernafasan oleh bekuan darah, mencegah kemungkinan penyebaran infeksi dan menghentikan perdarahan. Pada hemoptoe yang tidak masif maka penanganan dapat secara konservatif, yang dilakukan pada penanganan secara konservatif adalah: 4
  1. Menenangkan penderita dan memberitahu agar jangan takut untuk membatukkan darahnya.
  2. Penderita diminta untuk berbaring pada bagian paru yang sakit atau sedikit tredelenburg, terutama apabila reflek batuknya tidak adekuat.
  3. Jaga agar jalan nafas tetap terbuka, bila terdapat tanda tanda sumbatan jalan nafas maka perlu dilakukan penghisapan atau bila diperlukan dengan memasang pipa endotrakeal. Pemberian oksigen hanya berguna jika jalan nafas bebas sumbatan.
  4. Pemasangan IVFD untuk penggantian cairan maupun pemberian obat secara parenteral.
  5. Pemberian obat hemostatik tidak jelas manfaatnya pada batuk darah yang tidak disertai kelainan faal hemostatik.
  6. Obat dengan efek sedasi ringan dapat diberikan bila penderita gelisah. Obat obat penekan reflek batuk hanya diberikan bila terdapat batuk yang berlebihan dan merangsang timbulnya perdarahan yang lebih banyak.
  7. Transfusi diberikan bila hematokrit turun dibawah 25-30% atau hemoglobin dibawah 10 gr%.
gambar 1. alur diagnosa suspek TB paru

http://usebrains.files.wordpress.com/2009/09/image.png
Dugaan diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang lain.4 Gejala gejalanya termasuk gejala respiratorik (batuk ≥ 3 minggu, batuk berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas) dan gejala sistemik (demam, keringat malam, penurunan berat badan, malaise, nafsu makan menurun). Pada pemeriksaan fisik TB tidak khas, sehingga tidak dapat membantu membedakan dengan penyakit lainnya, temuan fisik tergantung lokasi kelainan, serta luasnya kelainan struktur paru. 4
Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan dahak untuk menentukan bakteri tahan asam (BTA) merupakan pemeriksaan yanng harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita TB atau suspek, pemeriksaan dilakukan 3 kali (sewaktu/pagi/sewaktu). Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif jika sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemukan BTA (+). Bila hanya satu spesimen positif maka perlu dilakukan pemeriksaan foto thorax atau sputum ulangan. Bila foto thorax mendukung TB maka didiagnosis TB paru BTA (+). Bila foto thorax tidak mendukung maka perlu dilakukan pemeriksaan sputum ulang. Bila hasil sputum ulangan negatif berarti bukan penderita TB. Bila foto roentgen mendukung TB namun sputum negatif maka diagnosis adalah TB paru BTA (-) roentgen positif. 4
Pada pasien ini dari anamnesis didapatkan bahwa pasien ini memiliki episode batuk berulang dengan dahak yang telah berlangsung selama 2 minggu, kemudian adanya riwayat demam malam hari dan riwayat penurunan berat badan, berdasarkan hal ini maka pasien dapat dicurigai menderita TB paru. Pada pemeriksaan sputum ditemukan adanya bakteri tahan asam positif 2, oleh karena itu pasien ini dapat langsung didiagnosa sebagai penderita TB paru.
Pada kasus dimana sputum positif maka pemeriksaan roentgen tidak diperlukan lagi. Namun beberapa kasus perlu dilakukan foto thorax bila: 4,9
1. Sputum BTA negatif
2. Sputum BTA positif
a. curiga adanya komplikasi (contoh efusi pleura, pneumothorax).
b. hemoptisis berulang atau berat.
c. didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+).
Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. 4Saat menegakkan diagnosa TB, dan sebelum memulai pengobatan, harus ditentukan definisi kasus TB yang ditentukan oleh 4 determinan: 4
  1. lokasi penyakit
  2. hasil hapusan dahak
  3. riwayat pengobatan sebelumnya
  4. beratnya penyakit
Tabel 2. Kategori pengobatan TB
kategori
Pasien TB
Fase
intensif
lanjutan
I
Ø TB paru BTA (+) kasus baru
Ø TB paru BTA (-) kasus baru dengan kerusakan parenkim yang luas
Ø TB ekstra pulmoner kasus baru dengan kerusakan paru berat
2HRZE
4H3R3
4HR
6HE
II
Ø TB paru BTA (+) kasus baru dengan riwayat pengobatan sebelumnya:
o kambuh
o gagal pengobatan
o pengobatan tidak selesai
2HRZES
+
1HRZE
5H3R3E3
5HRE
III
Ø TB paru BTA (-) kasus baru diluar kategori I
Ø kasus baru yang berat dengan TB ekstrapulmoner
2HRZ
4H3R3
4HR
6HE
IV
Ø kasus kronis (BTA tetap positif, setelah pengobatan ulang)
Rujuk ke dokter spesialis paru
Pada pasien ini lokasi TB berada pada paru dengan hapusan dahak (+) dan belum pernah diobati dengan OAT sebelumnya, sehingga definisi kasus pada pasien ini adalah TB paru BTA (+) kasus baru. 4 Sehingga dimasukkan kedalam kategori I pada pengobatan TB, dengan fase intensif 2HRZE dan fase lanjutan 4HR.
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping, namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat berat atau ringan, jika efek samping yang terjadi ringan, dapat diatasi dengan obat simptomatis dan pemberian OAT dapat dilanjutkan, namun jika efek samping berat yang terjadi maka OAT dihentikan. Pemantauan efek samping selama pengobatan secara klinis dilakukan dengan menjelaskan kepada penderita mengenai tanda-tanda efek samping, menanyakan kepada penderita adanya gejala efek samping pada saat penderita mengambil OAT, melakukan pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin), fungsi ginjal (ureum, kreatinin), gula darah, asam urat (bila menggunakan pirazinamid) untuk data dasar penyakit penyerta dan efek samping pengobatan, pemeriksaan visus dan uji buta warna jika ada keluhan / setiap bulan (bila menggunakan ethambutol).8,9
Tabel 3. Efek samping OAT dan tatalaksana
OAT
Efek samping
evaluasi
tatalaksana
Mayor*
Minor
H
Hepatitis
- kesemutan
- kaki rasa terbakar
AST/ALT
Vitamin B6
(piridoksin) 100 mg/hari
(profilaksis 10mg/hari)
R
- Hepatitis
- Syok, purpura,
gagal ginjal, anemia hemolitik (jarang)
- anorexia
- nyeri perut
- urin warna merah
- AST/ALT
- Alkali phospatase
- bilirubin
- Dimakan sebelum tidur
Z
- Hepatitis
- nyeri sendi
- AST/ALT
- Asam urat
Beri aspirin / allopurinol / probenescid
E
Neuritis optika
(buta warna merah-hijau dan tajam penglihatan menurun)
- uji visus setiap bulan/jika ada keluhan
Ket: * efek samping mayor hentikan OAT (dari pustaka 8, 9, 10)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak perlu dilakukan pemeriksaan awal tersebut. Yang penting adalah evaluasi klinis adanya efek samping, dan bila dicurigai adanya efek samping maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping sesuai pedoman.8,9
Secara definisi menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin ataupun keduanya. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes, kecurigaan akan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM, seperti poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, atau keluhan lain berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Pasien didiagnosis DM jika:5
  1. gejala klasik DM dan GDS ≥ 200 mg/dl
  2. gejala klasik DM dan GDP ≥ 126 mg/dl
  3. G2PP ≥ 200 mg/dl
Dari anamnesis pada pasien ini didapatkan bahwa pada tahun 2006 pasien sering merasakan cepat lelah pada otot saat beraktifitas dan ekstrimitas sering kram, namun tidak terdapat keluhan poliuri, polidipsi, dan polifagi. Pasien ini tidak memiliki gejala klasik DM, oleh karena itu diagnosis DM ditegakkan berdasarkan nilai G2PP ≥ 200 mg/dl.
Meningkatnya kepekaan pasien DM terhadap infeksi disebabkan oleh berbagai faktor. Pada umumnya efek hiperglikemia memudahkan pasien DM terkena infeksi. Hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit (makrofag) termasuk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam intraselular. 11
Diabetes melitus dianggap oleh WHO sebagai suatu penyakit imunodefisiensi sekunder yang karakteristik oleh adanya resolusi bila kausa yang mendasarinya dieliminasi, perlangsungan lebih lama dan lebih berat serta infeksi sering rekuren, gangguan salah satu respon imun biasanya granulosit PMN dan atau aktifitas subset limfosit. Bila mengenai PMN maka manifestasi kemotaksis dan fagositosis terganggu. Leukosit PMN ditarik ketempat infeksi oleh substansi kemotaksis yang disekresikan oleh mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen dan faktor faktor yang diindus secara lokal oleh PMN. Pada penelitian in vitro sel sel pasien DM mempunyai kemotaksis yang menurun, terutama pada keadaan DM yang tidak terkontrol. Fagositosis pada DM juga terganggu dikaitkan dengan defek intrinsik dari PMN. Hiperglikemia juga berkaitan dengan killing activity dari enzim lisosom yang menurun. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera meningkatkan aktifitas membunuh dalam 48 jam. 11
Infeksi adalah penyebab utama krisis hiperglikemia pada DM. Tercatat 30% episode KAD dipresipitasi oleh infeksi dan pada umumnya DM tipe II. Infeksi ringan pada DM biasanya menaikkan toleransi glukosa dengan meningkatkan kadar glukosa darah dan menaikkan kebutuhan insulin pada pasien DM tipe I. Efek metabolik infeksi pada DM diawali oleh kenaikan kadar glukosa darah karena glukoneogenesis yang distimulasi oleh meningkatnya sekresi counter regulatory hormones (glukagon, kortisol, growth hormon dan katekolamin) maupun penekanan sekresi insulin oleh sel sel beta pankreas. Katekolamin diproduksi oleh simpatis dan adrenalin dihasilkan oleh medula adrenal, keduanya menyebabkan meningkatnya glukoneogenesis dan penekanan sekresi insulin. Vasopresin bekerjasama dengan hormon antagonis dan ini juga berperan pada stadium awal. Tahap selanjutnya walaupun sekresi meningkat pada non diabetik maupun pada DM tipe II akan tetapi akibat adanya resistensi insulin, hiperglikemia menetap dan malahan cenderung meningkat. Resistensi insulin terutama pada otot skelet dimana insulin tidak mampu meningkatkan asupan glukosa demikian pula dihati. Mekanisme yang mendasarinya belum diketahui dengan pasti. Namun kadar kortisol yang meningkat dalam sirkulasi dan sitokin yang disekresi oleh sel imun akibat infeksi ikut berperan. Selanjutnya interleukin dan TNF alfa yang mengganggu kerja insulin diperifer dengan menekan tirosin kinase activity pada reseptor insulin. Kenaikan kadar glukagon terutama pada defisiensi insulin akan merangsang ketogenesis yang terkait erat dengan terjadinya ketoasidosis pada infeksi DM. 11
TB sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin dan “brittle” diabetes. Di Negara-negara Barat insiden TB sudah menurun walaupun insidensinya masih tinggi pada populasi imigran dan terutama pada pasien AIDS. Didaerah dimana TB masih endemik maka insiden TB pada DM masih tinggi. Perjalanan TB dengan DM lebih berat dan kronis dibanding DM saja. Hal ini disebabkan meningkat kepekaan terhadap kuman TB pada pasien DM, reaktifasi fokus infeksi lama, cenderung lebih banyak cavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif, keluhan dan tanda tanda klinis TB paru toksik tersamar sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap TB paru ringan dan akhirnya pada keadaan hiperglikemia pemberian obat kemoterapi tidak efektif. 11
Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM, aktifitas TB meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan. Penelitian TB paru pada DM di indonesia masih cukup tinggi yaitu 12,8-42% dan bila dibanding dengan luar negeri maka prevalensi indonesia masih tinggi. Telah diketahui sejak dahulu terdapat hubungan bermakna antara DM dengan TB paru khususnya pada pasien DM yang tidak terkontrol dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi antara lamanya DM dengan prevalensi TB paru. Demikian pula tidak ditemukan adanya korelasi riwayat kontak pada pasien tuberkulosis. Penelitian menunjukkan bahwa TB paru pada DM berkorelasi dengan meningkatnya umur. Sejumlah penelitian menunjukkan prevalensi TB pada DM rata-rata diatas 40 tahun (mean 55,4 tahun). Faktor umur berperan dalam meningkatkan prevalensi TB paru pada DM karena umur lebih tua meningkatkan kepekaan terhadap TB. Disamping itu disfungsi sel beta terganggu berat, biasanya usia lanjut sudah lama menderita DM serta kontrol DM yang tidak baik. Pasien DM laki-laki mempunyai kemungkinan 2 kali mendapat TB dibanding wanita. Dan 71% adalah pasien DM non obes, 15% obes dan hanya 14% kurus. Sedang peneliti lainnya menemukan sebagian besar DM dengan TB mempunyai berat badan normal. 11
Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM-nya dan pengobatan terhadap TB parunya. Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan DM pada umumnya yang meliputi perencanaan makan/diet, anti diabetes oral maupun insulin. Perencanaan makan selain untuk menormalkan kadar glukosa darah, juga untuk mengembalikan berat badan ke BB ideal. 11
Sebagai petunjuk atau guidellines untuk pengelolaan DM selama infeksi adalah sebagai berikut: pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir, pada pasien yang sudah mendapat insulin, dosis insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten, pertahankan asupan cairan, kendalikan DM seoptimal mungkin kadar GDP 80-109 mg/dl, GD2PP 0-144 mg/dl, HbA1c <6,5, kolesterol total <200 mg/dl, LDL <100 mg/dl, HDL > 45 mg/dl, Tg < 150 mg/dl, IMT 18,5-23 dan Td <130/80 mmHg. Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi hiperglikemia berat atau hipoglikemia dan tindaki segera. Pada pasien rawat inap tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma 4 jam terakhir, tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin IV atau tetes. Pada pasien yang memakai obat hiperglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dosis insulin, pertahankan hidrasi dengan pemberian cairan intravena bila diperlukan.11
Pengobatan pasien ini dengan menggunakan insulin karena; pertama, efek rifampisin terhadap obat hipoglikemik oral dimana rifampisin dapat mempercepat metabolisme obat-obat anti diabetik oral, menginaktifasi sulfonilurea dan meningkatkan kebutuhan insulin. Sebaliknya INH dapat mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Walaupun jarang INH menyebabkan pankreatitis, menghambat efek metformin pada absorbsi glukosa diusus, mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Kedua; Pemberian sulfonilurea pada DM dengan TB paru adalah kontraindikasi karena TB dianggap penyakit dengan infeksi serius yang intercurrent. Sedang biguanid tidak diberikan karena pada umumnya TB paru mempunyai keluhan nafsu makan menurun, BB menurun dan adanya malabsorbsi glukosa11, dan ketiga; terdapatnya indikasi penggunaan insulin.5
Rifampisin merupakan obat anti tuberkulosis lini pertama, yang juga mempunyai spektrum luas terhadap organisme lain, termasuk beberapa bakteri gram positif dan gram negatif Legionella spp, M. kansasii, dan M. marinum. Aktifitas bakterisidal dari rifampisin pada intraselular dan ekstraselular dengan memblok sintesis, dengan mengikat dan menginhibisi secara spesifik sintesis RNA pada DNA dependent RNA polimerase. Rifampisin merupkan antibiotik yang bersifat larut lemak dan terdistribusi dengan baik pada seluruh jaringan tubuh, termasuk meninges yang terinflamasi. Rifampisin diekskresi terutama melalui saluran empedu dan sirkulasi enterohepatik, sedangkan 30-40% diekskresikan melalui ginjal. Meskipun secara umum rifampisin ditoleransi dengan baik, namun efek samping yang paling sering adalah masalah gastrointestinal. Pasien dengan penyakit hepar, terutama dengan alkoholisme dan usia lanjut terlihat beresiko tinggi untuk memiliki efek samping serius yaitu hepatitis. Rifampisin merupakan inducer enzim mikrosomal hepar yang poten sehingga dapat menurunkan waktu paruh dari beberapa obat, dimana salah satunya adalah obat hipoglikemik oral.6
Indikasi mutlak penggunaan insulin adalah DM type I, tetapi seringkali diberikan pada bukan DM type I dengan tujuan agar tubuh memiliki jumlah insulin efektif pada saat yang tepat. Beberapa indikasi penggunaan insulin adalah pada DM type I, DM type II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan obat hipoglikemik oral, DM dan keadaan khusus (kehamilan, nefropati diabetik tipe B3 dan Be, gangguan faal hati berat, infeksi akut, TB paru berat, ketoasidosis diabetik, operasi, patah tulang, underweight, dan penyakit graves).7
Telah dikenal berbagai macam insulin kerja cepat, sedang sampai lama yang disuntikkan sendiri atau mixed dalam satu semprit. Saat ini tersedia insulin kerja cepat yaitu insulin lispro dan insulin aspart, kerja sedang tersedia actrapid, humulin NPH, kerja lama adalah ultra lente dan insulin gargline. Insulin yang dikombinasi antara kerja pendek dan sedang adalah insulin mixtard, yang terdiri monotard 70% dan actrapid 30%. Insulin yang beredar sekarang adalah insulin murni atau human insulin yang dibuat dengan tehnologi rekombinan DNA dan mempunyai kerja lebih cepat dan masa kerja lebih pendek dibandingkan insulin babi. Di indonesia hanya beredar insulin dengan dosis 40 IU/ml dan 100 IU/ml. Di luar negeri tersedia pula insulin dengan dosis 500 IU/ml yang ditujukan pada kasus-kasus resistensi insulin dimana memerlukan insulin dosis besar. 11
Pemberian insulin sebaiknya dimulai dengan insulin kerja cepat seperti actrapid atau monotard R dengan dosis kecil 5 unit diberikan tiap ½ jam sebelum makan dan dosis ditingkatkan 2-4 unit dalam waktu 2-4 hari. Macam dan jadwal pemberian insulin dapat diubah sesuai respon pasien. 11
Bila pengendalian DM berlangsung baik dan keadaan TB paru sudah membaik maka insulin kerja pendek dapat dilanjutkan dengan insulin kerja menengah seperti monotard atau humulin N dengan dosis 2/3 dari dosis total insulin kerja pendek. Bila dosis total perhari diperlukan kurang 30 unit perhari maka cukup pemberian insulin kerja menengah cukup diberikan sekali perhari dan apabila dosis lebih 30 unit maka pemberian insulin diberikan 2 kali perhari yaitu 2/3 dosis sebelum makan pagi dan 1/3 dosis sebelum makan malam. 11
Pemberian insulin mixed lebih baik dalam menormalkan kadar glukosa darah dibanding insulin tunggal. Namun demikian insulin campuran sebaiknya mengikuti petunjuk dan prosedur standar pemberian seperti penyuntikan dilakukan 15 menit sebelum makan, dianjurkan hanya pada pasien yang sudah terkontrol baik. Tidak dianjurkan menggabungkan antara lente insulin dengan NPH karena zink pospat dapat mempresipitasi sehingga insulin kerja lambat akan menjadi kerja pendek. Demikian pula insulin gargline tidak dapat dicampur dengan insulin lainnya karena pH rendah akan saling mengencerkan. 11
Dosis insulin pada pasien DM tergantung respons glikemik setiap individu dan asupan makanan serta latihan jasmani. Pada umumnya pada pemberian awal diberikan 3 kali pemberian atau lebih suntikan perhari dengan insulin kerja pendek untuk memperoleh derajat euglikemik. Jadwal penyuntikan tergantung dari kadar glukosa darah, jumlah asupan makanan, aktifitas fisik dan tipe insulin yang dipakai. Pada umumnya penyuntikan dilakukan 30 menit sebelum makan khusus untuk insulin kerja pendek karena penyuntikan setelah makan atau segera sebelum makan akan menyebabkan hipoglikemia atau insulin tidak efektif menekan kenaikan glukosa darah postprandial. 11
Pada saat ini pemberian insulin khususnya dalam periode lama seperti DM dengan TB paru maka perlu monitor kadar glukosa darah sendiri. Untuk memantau kadar glukosa dapat dipakai darah kapiler dengan memakai glukosa meter. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glukosa meter dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan standar yang diperlukan. Secara berkala hasil pemantauan dengan meter atau reagen perlu dibandingkan dengan cara konvensional. Waktu pemeriksaan untuk pemantauan adalah pada saat sebelum makan dan waktu tidur untuk menilai resiko hipoglikemia dan pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah makan untuk menilai ekskursi maksimal glukosa selama sehari.11
RESUME
Telah di anamnesa seorang pasien laki-laki berusia 54 tahun yang masuk rumah sakit dengan keluhan hemoptoe. Pada pemeriksaan telah terbukti bahwa pasien menderita TB paru BTA positif dengan diabetes melitus tipe II. Pasien selama diruangan telah mendapat pengobatan berupa H 300,R 450, Z 1000, E 750 dan rapid insulin 12 unit 3 kali sehari. Setelah beberapa hari dirawat kondisinya semakin membaik, dan pada hari ke 12 pasien dipulangkan dan dirujuk ke poli paru untuk mendapatkan pengobatan TB dan kontrol ke poli endokrin untuk pengobatan DM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar